Tanjungpinang, Kota di Ujung Slip Gaji

Oleh Ridarman Bay

Pak Rudi mengelap meja warungnya yang kosong untuk ketiga kalinya pagi itu. Biasanya jam segini—pukul sepuluh—mejanya sudah penuh bekas cangkir kopi dan piring nasi goreng.

Tapi pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya dalam tiga bulan terakhir, hanya dua pelanggan yang datang.

“Dulu tiap pagi saya bisa jual 40 porsi sarapan. Sekarang? Paling 15 porsi. Itupun yang beli kebanyakan tukang ojek, bukan pegawai kantoran lagi,” katanya sambil menyalakan rokok.

Warung Pak Rudi di Jalan Merdeka, Tanjungpinang, bukan sekadar tempat makan. Dia barometer ekonomi lokal.

Kalau warungnya ramai, berarti uang berputar deras. Kalau sepi, ada yang tidak beres.

Dan sekarang memang tidak beres.

Sejak adanya beleid pemotongan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) ASN beberapa bulan lalu, ekonomi Tanjungpinang seperti mesin yang kehilangan oli. Geraknya lambat, suaranya kasar, sebentar lagi mogok.

Dampaknya tidak cuma dirasakan pegawai negeri. Justru yang paling meradang adalah mereka yang tidak pernah terima gaji pemerintah sepeser pun: pedagang kecil, tukang parkir, penjahit, dan sopir angkot.

Pasar Bintan Center pun terlihat lengang. Bu Siti yang jualan baju anak juga bilang omzetnya anjlok 60 persen.

“Ibu-ibu PNS yang dulu belanja buat anak sekolah, sekarang cuma nanya harga terus pergi,” katanya. Ia tidak marah. Hanya pasrah.

Di luar itu, ada Mas Arif, tukang parkir di depan kantor dinas. Penghasilannya turun dari Rp130 ribu jadi Rp60 ribu sehari.

“Pegawai yang dulu parkir di sini sekarang pada naik motor. Hemat bensin, hemat parkir,” ujarnya sambil menghitung recehan di kantong celananya.

Cerita serupa juga dialami kedai kopi. Banyak yang mencoba nasib membuka kafe.

Tapi beberapa tahun kemudian, mereka memilih tutup. Alasannya, omzet tidak sebanding dengan pengeluaran. Habis itu, buka lagi satu. Begitu seterusnya.

Cerita-cerita ini bukan fiksi. Ini potret nyata sebuah kota yang ekonominya terlalu bergantung hanya pada satu sumber: gaji pegawai negeri.

Tanjungpinang memang kota mandiri. Pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.

Sejak diresmikan menjadi kota otonom pada 17 Oktober 2001, sekarang “Kota Pantun” itu sudah berusia 24 tahun.

Kendati hampir berusia seperempat abad, Kota Tanjungpinang bukan pusat produksi. Tidak ada pabrik besar. Tidak ada industri yang menyerap ribuan tenaga kerja.

Yang ada: kantor-kantor pemerintah, lembaga vertikal, TNI/Polri dan beberapa perguruan tinggi yang menyuntikkan uang ke pasar lewat gaji ASN dan pegawai.

Setiap tanggal muda, uang mengalir dari rekening pegawai ke warung, pasar, bengkel, salon, warung kopi. Ketika aliran itu menyempit, semua orang ikut kehabisan napas.

Ini soal struktur, bukan soal salah siapa. Tapi kebijakan punya konsekuensi.

Dan konsekuensinya sedang dirasakan oleh orang-orang seperti Pak Rudi dan ratusan pelaku UMKM yang tidak pernah duduk di ruang rapat membahas APBD.

Pertanyaannya bukan apakah pemotongan TKD itu perlu atau tidak—barangkali memang anggaran sedang sulit, bisa jadi benar ada penghematan.

Tapi yang harus dijawab: sudahkah pemerintah menyiapkan bantalan untuk menahan jatuhnya ekonomi lokal?

Karena faktanya, tidak ada. Nihil program stimulus untuk pedagang kecil.

Tiada percepatan belanja modal. Kosong kredit murah untuk UMKM yang terjepit Tak ada jaring pengaman sosial.

Yang ada hanya janji-janji soal “mengembangkan pariwisata” dan “memperkuat ekonomi kreatif”—yang butuh lima tahun, sementara Pak Rudi harus bayar listrik bulan depan.

Sekarang tidak terasa

Saya bertemu Pak Rudi lagi seminggu kemudian. Kali ini dia sedikit lebih cerah. Istrinya mulai jualan gorengan di rumah. “Lumayan, nambah Rp50 ribu sehari,” katanya.

Dia juga bilang beberapa temannya mulai cari sampingan: jadi driver ojol, jualan pulsa, buka jasa cuci motor.

Saya senang mendengar itu. Tapi juga miris. Kenapa orang seperti Pak Rudi harus berjuang sendiri mencari jalan keluar dari kebijakan yang dia tidak pernah ikut putuskan?

Kemana pemerintah setempat?

Tanjungpinang sedang menelaah pelajaran pahit: kota tidak bisa hidup hanya dari gaji pemerintah.

Harus ada basis ekonomi produktif yang mandiri.

Tapi sambil mengkaji, jangan biarkan Pak Rudi tenggelam. Karena kalau warungnya tutup, bukan cuma dia yang rugi.

Seluruh ekosistem ekonomi kecil di sekitarnya ikut mati.

Dan saat itu terjadi, tidak ada lagi barometer yang bisa kita lihat. Hanya keheningan kota yang kehilangan denyut.*

 

  1. Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *