Menjaga Marwah Pers, Menegakkan Hukum yang Bermartabat

Achmad Yani-Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik

Pemanggilan seorang wartawan oleh penyidik Polresta Tanjungpinang tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers, sebut saja Hasyim HS yang diperiksa penyidik pada hari Senin, 14 Juli 2025, berdasarkan surat undangan klarifikasi nomor: B/1060/VII/RES.1.24./2025/Satreskrim, tertanggal 11 Juli 2025. Pemanggilan ini tentu mengundang pertanyaan publik tentang komitmen aparat penegak hukum terhadap prinsip-prinsip demokrasi, khususnya kebebasan pers. Kasus ini bukan sekadar soal prosedur, melainkan menyentuh jantung dari sistem hukum yang menjamin ekspresi, transparansi, dan kontrol sosial dalam masyarakat demokratis.

Dalam sistem hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak utama yang menjamin kebebasan pers. Pasal 8 UU Pers secara tegas menyebutkan bahwa “dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Perlindungan ini bukan basa-basi konstitusional, melainkan mandat normatif agar wartawan dapat menjalankan fungsinya tanpa intimidasi, tekanan, maupun kriminalisasi yang tidak sesuai dengan prosedur.

Tindakan pemanggilan wartawan oleh aparat kepolisian atas sebuah karya jurnalistik tanpa melalui Dewan Pers bertentangan langsung dengan semangat hukum lex specialis yang telah ditegakkan melalui UU Pers. Pasal 15 ayat (2) huruf (c) mengamanatkan bahwa sengketa terhadap karya jurnalistik harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Dewan Pers, bukan melalui pendekatan pidana secara langsung.

Perlu ditegaskan, karya jurnalistik memiliki karakter hukum yang berbeda dari pernyataan biasa. Wartawan bekerja berdasarkan kode etik, metode peliputan, dan prinsip cover both sides. Ketika terjadi kekeliruan dalam pemberitaan, sistem hukum pers menyediakan mekanisme klarifikasi, hak jawab, dan koreksi. Maka, membawa wartawan ke proses penyidikan tanpa melewati Dewan Pers dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pengabaian terhadap mekanisme lex specialis yang diatur undang-undang.

Jika kepolisian atau siapapun yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan langsung memanggil wartawan tanpa koordinasi dengan Dewan Pers, maka hal ini mengancam prinsip due process of law dalam konteks pers. Proses hukum bukan hanya harus adil, tetapi juga harus dilakukan dengan cara yang adil.

Ketiadaan koordinasi dengan Dewan Pers bukan hanya persoalan administratif, tetapi mencerminkan kekeliruan dalam memahami hierarki hukum dan fungsi institusi negara. Dewan Pers tidak hanya menjadi fasilitator penyelesaian sengketa, tetapi juga pelindung profesionalitas dan kebebasan wartawan yang bekerja berdasarkan mandat undang-undang.

Apalagi jika wartawan yang dipanggil tersebut adalah bagian dari media yang telah terverifikasi dan anggota organisasi pers yang diakui Dewan Pers. Maka, upaya pemanggilan secara langsung oleh penyidik tanpa merujuk terlebih dahulu kepada Dewan Pers adalah bentuk perendahan terhadap struktur hukum yang berlaku.

Dalam konteks ini, koordinasi bukanlah bentuk pembiaran terhadap potensi pelanggaran hukum. Justru, dengan melibatkan Dewan Pers, proses klarifikasi dapat berlangsung secara lebih tepat, adil, dan proporsional. Hal ini penting agar tidak menimbulkan efek psikologis negatif bagi wartawan dan masyarakat pers secara keseluruhan.

Perlu kita sadari, kebebasan pers bukanlah hak eksklusif wartawan semata, tetapi merupakan hak publik untuk tahu. Kriminalisasi atau intimidasi terhadap pers secara tidak prosedural pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang jujur dan berimbang.

Kita tentu tidak menginginkan aparat penegak hukum bertindak sebagai pemangku kebenaran tunggal yang dapat memanggil siapa saja tanpa kendali kelembagaan. Oleh karena itu, semua pihak perlu menghormati prinsip checks and balances, termasuk dalam relasi antara penyidik dan institusi Dewan Pers.

Kami mendorong agar Dewan Pers tidak diam dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini. Teguran resmi, audit etik, hingga publikasi pelanggaran harus ditempuh demi menjaga marwah profesi wartawan dan kredibilitas sistem pers nasional kita.

Kami juga berharap Polri melalui Mabes maupun Polda segera mengevaluasi pelaksanaan MoU antara Kepolisian dan Dewan Pers, serta melakukan pelatihan intensif kepada seluruh penyidik mengenai pendekatan hukum yang berlaku dalam kasus pers.

Sebagai bangsa yang menjunjung demokrasi dan keadilan, sudah semestinya kita menjaga independensi dan perlindungan terhadap jurnalis, bukan justru mempersempit ruang gerak mereka melalui prosedur hukum yang tidak sesuai jalurnya. Negara yang kuat adalah negara yang menghargai pers yang merdeka dan bermartabat.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *