Mengembalikan Kedaulatan Fiskal Desa dengan Menolak Intervensi Vertikal atas Alokasi Dana Desa

Oleh: Achmad Yani-Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk membangun desa sebagai fondasi utama pembangunan nasional.

Salah satu instrumen kunci dari kebijakan ini adalah Dana Desa, yang setiap tahunnya dikucurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke lebih dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.

Dana tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas desa dalam merencanakan, membangun, dan mengelola sumber daya lokal secara mandiri demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa (Kemendesa, 2023).

Namun, idealisme regulatif tersebut kerap kali berbenturan dengan praktik di lapangan. Dalam sejumlah laporan investigatif dan pengakuan kepala desa, ditemukan bahwa Dana Desa tidak sepenuhnya dikelola oleh desa secara otonom.

Sebaliknya, terdapat praktik sistematis di mana otoritas pemerintah kabupaten mengarahkan atau bahkan memaksa alokasi Dana Desa untuk membiayai kegiatan seremonial pemerintahan tingkat kabupaten.

Bahkan lebih jauh, sebagian Dana Desa dialihkan untuk mendanai kegiatan pendampingan oleh aparat penegak hukum yang tidak pernah dimusyawarahkan di tingkat desa.

Fenomena ini menciptakan anomali kebijakan, dimana desa yang seharusnya menjadi subjek pembangunan dan pengelola fiskal lokal justru direduksi menjadi obyek pasif yang tunduk pada tekanan struktural vertikal.

Hal ini tidak hanya melemahkan semangat desentralisasi fiskal, tetapi juga mengikis kedaulatan fiskal desa, yaitu hak desa untuk merancang dan menjalankan agenda pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokalnya.

Padahal dalam sistem otonomi daerah, desa diakui memiliki kewenangan asli sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945 dan ditegaskan dalam UU Desa.

Menurut Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023), intervensi terhadap Dana Desa oleh oknum pemerintah kabupaten dan aparat vertikal membuka ruang lebar bagi praktik korupsi kolutif.

Alokasi dana yang tidak berdasarkan musyawarah desa dan tidak tercantum dalam APBDes menjadi celah penyimpangan anggaran yang sulit dipertanggungjawabkan secara hukum maupun administratif. Sayangnya, posisi kepala desa dalam konteks ini sangat rentan.

Ketakutan terhadap ancaman hukum atau tekanan politis membuat mereka enggan menolak perintah yang tidak sah tersebut.

Masalah ini tidak bisa dilihat semata sebagai pelanggaran hukum administratif, tetapi juga sebagai bentuk perampasan hak fiskal kolektif desa.

Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa, penggunaan Dana Desa harus bersifat partisipatif dan disusun berdasarkan hasil musyawarah desa.

Tidak ada satu pun pasal dalam regulasi tersebut yang memberikan ruang bagi pemerintah kabupaten atau lembaga vertikal untuk mengambil sebagian dana tersebut atas nama kepentingan koordinasi atau pendampingan.

Kondisi ini semakin ironis ketika dilihat dari perspektif makro pembangunan. Alih-alih menjadi instrumen pengungkit kesejahteraan dan transformasi sosial di tingkat lokal, Dana Desa justru berubah fungsi menjadi alat legitimasi kepentingan simbolik dan seremonial elit kabupaten.

Banyak kegiatan “pendampingan” yang tidak memberikan nilai tambah bagi pembangunan desa, namun menyerap dana dalam jumlah besar tanpa hasil yang terukur (BPKP, 2024).

Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap efektivitas pembangunan desa, situasi ini harus menjadi alarm bagi pembuat kebijakan di tingkat nasional.

Negara tidak boleh tinggal diam melihat praktik penyimpangan kedaulatan fiskal desa yang sistemik. Diperlukan pendekatan kebijakan yang tidak hanya memperkuat aspek pengawasan dan akuntabilitas, tetapi juga memberikan perlindungan struktural dan yuridis terhadap desa sebagai entitas fiskal yang mandiri.

Ini penting agar desa tidak terus-menerus menjadi korban politik anggaran yang elitis dan transaksional.

Oleh karena itu, tulisan ini hendak mengurai secara kritis bagaimana praktik intervensi vertikal terhadap Dana Desa tidak hanya bertentangan dengan hukum positif, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip keadilan fiskal dan demokrasi lokal.

Dengan menelaah kerangka yuridis, tata kelola, dan etika kebijakan publik, opini ini bertujuan mendorong reformasi kebijakan Dana Desa agar kembali pada marwahnya sebagai sarana mewujudkan desa berdaulat, mandiri, dan berkeadilan.

Realitas intervensi terhadap Dana Desa yang telah diuraikan diatas tidak dapat dilepaskan dari persoalan mendasar terkait lemahnya posisi desa dalam struktur kekuasaan fiskal nasional.

Meskipun secara normatif desa telah memperoleh legitimasi untuk mengelola anggarannya secara mandiri, praktik di lapangan menunjukkan adanya ketimpangan relasi antara desa dan aktor-aktor vertikal, khususnya pemerintah kabupaten dan aparat penegak hukum.

Dalam konteks ini, perlu ditelusuri lebih dalam bagaimana konsep kedaulatan fiskal desa dirumuskan secara teoritik, serta bagaimana distorsi terhadap konsep tersebut berkontribusi pada maraknya penyimpangan anggaran yang terjadi secara sistemik

Kedaulatan fiskal desa merupakan bentuk konkret dari pengakuan negara atas hak desa untuk mengelola sumber daya keuangannya secara mandiri sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal.

Konsep ini lahir dari paradigma pembangunan berbasis komunitas (community-based development), yang menekankan bahwa desa bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki kewenangan asli untuk menentukan arah, strategi, dan prioritas Pembangunan.

Dalam konteks Indonesia, kedaulatan fiskal desa mendapat legitimasi yuridis melalui UU No. 6 Tahun 2014, di mana Dana Desa diarahkan untuk mendukung program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang diputuskan secara partisipatif melalui musyawarah desa.

Kedaulatan Fiskal Desa Dilanggar oleh Intervensi Vertikal

Secara normatif, Dana Desa merupakan alokasi anggaran dari APBN yang diperuntukkan langsung bagi desa tanpa melalui struktur pemerintahan kabupaten.

Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 72 dan 74 UU No. 6 Tahun 2014 serta diperkuat oleh PP No. 60 Tahun 2014 yang mengatur bahwa pengelolaan Dana Desa dilakukan berdasarkan musyawarah desa dan rencana kegiatan pembangunan yang bersifat partisipatif.

Ketika terjadi pengalihan sebagian dana untuk mendanai kegiatan yang berasal dari aktor eksternal, maka telah terjadi pelanggaran terhadap asas legalitas dan prinsip self-governance desa. Praktik ini dapat dikualifikasikan sebagai penyimpangan administratif, bahkan berpotensi sebagai penyalahgunaan kewenangan, khususnya bila didorong melalui tekanan struktural dari pihak luar.

Lebih lanjut, intervensi vertikal atas Dana Desa menciptakan kondisi hukum yang tidak setara antara desa dan otoritas supradesa. Kepala desa yang secara hukum bertanggung jawab atas anggaran tersebut justru kehilangan kendali akibat tekanan atau arahan non-yuridis yang tidak memiliki dasar hukum formal.

Dalam perspektif hukum tata negara, praktik seperti ini menciderai semangat desentralisasi dan melanggar prinsip pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, daerah, dan desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B UUD 1945.

Oleh karena itu, dari sisi legal, negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa Dana Desa benar-benar digunakan sesuai hukum, bukan sebagai alat kompromi politik anggaran oleh aktor eksternal.

Demikian halnya dalam perspektif tata kelola publik, pengelolaan Dana Desa seharusnya mencerminkan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan efektivitas.

Namun, ketika terdapat tekanan dari aktor eksternal untuk menyisihkan alokasi anggaran bagi kegiatan yang tidak relevan dengan kebutuhan desa, maka prinsip-prinsip tersebut menjadi terdistorsi.

Kepala desa yang seharusnya berperan sebagai pemimpin pembangunan lokal justru diposisikan sebagai pelaksana teknis agenda eksternal, bukan sebagai aktor utama pembangunan partisipatif. Hal ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang, di mana keputusan anggaran tidak lagi diambil berdasarkan kebutuhan warga, tetapi atas dasar tekanan politis atau struktural.

Ketimpangan ini mengakibatkan proses perencanaan dan pelaksanaan APBDes menjadi tidak sepenuhnya mencerminkan hasil musyawarah desa.

Fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi warga pun menjadi lemah karena ruang deliberatif telah digantikan oleh logika “komando” dari luar desa. Akibatnya, akuntabilitas anggaran menjadi kabur, dan potensi penyimpangan meningkat karena tidak ada basis sosial yang kuat untuk mengontrol penggunaan dana.

Dalam jangka panjang, hal ini merusak legitimasi pemerintahan desa, menurunkan kepercayaan masyarakat, dan memperkuat patronase politik di tingkat lokal. Tata kelola semacam ini tidak menciptakan desa yang berdaya, melainkan memperdalam ketergantungan desa pada struktur kekuasaan eksternal.

Reformulasi Regulasi Dana Desa untuk Mempertegas Kedaulatan Fiskal Desa

Diperlukan pembaruan regulasi yang mempertegas posisi Dana Desa sebagai hak fiskal desa yang tidak dapat diintervensi oleh pihak eksternal, baik oleh pemerintah kabupaten maupun institusi vertikal lainnya.

Revisi terhadap PP No. 60 Tahun 2014 maupun Permendagri No. 20 Tahun 2018 dapat difokuskan pada penguatan klausul larangan eksplisit terhadap penggunaan Dana Desa untuk kegiatan seremonial, koordinatif, atau non-pembangunan yang tidak berasal dari musyawarah desa.

Regulasi ini juga harus mengatur sanksi administratif dan pidana bagi oknum yang terbukti menyalahgunakan pengaruh jabatan untuk mengarahkan penggunaan Dana Desa secara tidak sah.

Reformulasi tersebut perlu disertai dengan penguatan kelembagaan di tingkat desa, seperti penyusunan pedoman teknis tentang perencanaan partisipatif, alokasi anggaran berbasis kebutuhan lokal, serta perlindungan hukum bagi kepala desa yang menolak intervensi.

Pemerintah pusat juga perlu menyiapkan perangkat monitoring independen berbasis digital (misalnya melalui integrasi dengan Sistem Keuangan Desa/Siskeudes) untuk memverifikasi kesesuaian antara dokumen musyawarah desa dan realisasi anggaran. Dengan pendekatan ini, desa dapat menjalankan kedaulatan fiskalnya secara otonom dan bertanggung jawab.

Terakhir, bahwa Kepala desa sering kali menjadi korban dari ketidakseimbangan kekuasaan fiskal dalam birokrasi pemerintahan daerah.

Oleh karena itu, negara perlu hadir melalui kebijakan afirmatif yang memberikan perlindungan hukum struktural terhadap kepala desa yang menolak intervensi penggunaan Dana Desa di luar koridor hukum.

Perlindungan ini bisa diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman antar kementerian/lembaga, misalnya antara Kemendagri, Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK, untuk mencegah kriminalisasi terhadap kepala desa yang bersikap taat hukum namun dianggap melawan kepentingan politik lokal.

Selain perlindungan, penguatan kapasitas kelembagaan kepala desa dan perangkat desa juga harus menjadi prioritas.

Program pelatihan harus difokuskan pada peningkatan pemahaman terkait hak fiskal desa, prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara, serta strategi advokasi dalam menghadapi tekanan struktural.

Program ini perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dengan pendekatan interaktif dan berbasis studi kasus nyata, serta melibatkan akademisi dan praktisi hukum yang kredibel. Dengan begitu, kepala desa tidak hanya menjadi pelaksana teknis, tetapi juga aktor perubahan yang memiliki daya tahan dan kesadaran hukum yang kuat.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *