Menembus Batas Laut: Transformasi Digital dari Kepri

  • Oleh Ridarman Bay
  • Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri dan Wakil Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kepri.

 

 

Tulisan ini terinspirasi dari Call for Pappers (CfP) yang dikirim Sekar, pegawai Bapeda Kepri di grup WA. Tema yang diminta adalah Riset, Inovasi dan Tranformasi Digital Daerah Kepulauan.

 

Saya tertarik dengan temanya, terutama Inovasi dan Tranformasi Digital Daerah Kepulauan. Saya tak mau mengirim naskah ke CfP karena sudah distop sejak awal. (dalam CfP dinyatakan: penulis tidak menerima honor, hehe)

 

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke sebuah pulau kecil di Lingga. Di sana, seorang guru bercerita bahwa dulu ia harus memanjat pohon atau mencari daerah ketinggian hanya untuk mengirim laporan daring. Padahal bumi “Segantang Lada” itu dekat dengan kota dunia, Singapura.

 

Tetapi sekarang, sinyal sudah bisa diakses dari sekolah berkat jaringan satelit baru. “Setidaknya kami tak perlu lagi panjat pohon atau menunggu tengah malam untuk mengajar lewat video,” katanya sambil tersenyum.

 

Cerita sederhana itu menandai babak baru: transformasi digital mulai menjejakkan kakinya. Sebagai provinsi yang terdiri atas ribuan pulau, Kepulauan Riau (Kepri) adalah cermin kecil dari Indonesia. Laut memisahkan jarak, tapi juga menyatukan nasib.

 

Di banyak pulau kecil, koneksi internet masih naik-turun, listrik terbatas, dan wajah negara di layar smartphone masih sering tersendat. Namun justru dari daerah seperti inilah semangat untuk terkoneksi tumbuh paling kuat.

 

Bayangkan, dari ribuan pulau di Kepri, masih ada 124 kawasan yang mengalami sinyal lemah, dan 22 titik yang gelap gulita tanpa sinyal (Data Dinas Kominfo Kepri per Juli 2025).

 

Jumlah ini mungkin terlihat kecil diatas kertas, tapi bagi seorang murid di pulau terpencil Anambas yang ingin belajar atau seorang bidan yang perlu konsultasi darurat, titik blankspot itu adalah tembok pemutus harapan.

 

Di sinilah wajah sejati transformasi digital diuji—bukan di kota besar yang sinyalnya stabil, melainkan di kampung nelayan yang masih menggantungkan hidup pada laut.

 

Transformasi digital seharusnya tidak dilihat semata sebagai proyek teknologi, melainkan sebagai gerakan sosial baru. Internet bukan sekadar kabel dan antena; ia adalah jembatan menuju kesetaraan.

 

Para anak di pulau terpencil seharusnya punya kesempatan belajar yang sama dengan mereka yang tinggal di kota besar. Setiap pelaku UMKM di pulau kecil harus punya peluang menjual produknya tanpa harus menyeberang.

 

Sejumlah program pemerintah sudah mulai bergerak ke arah itu. Bakti Kominfo misalnya, menyediakan akses internet gratis untuk sekolah dan puskesmas di daerah 3T. Platform seperti Rumah Belajar membantu guru tetap mengikuti kurikulum nasional meski berada jauh dari pusat.

 

Tapi saya percaya, keberhasilan digitalisasi tidak hanya ditentukan oleh infrastruktur, melainkan oleh manusia yang menggunakannya.

 

Di Kepri, saya melihat harapan itu tumbuh dari komunitas lokal. Salah satunya Pulau Coding—komunitas anak muda di Tanjungpinang yang mengajar pelajar dan pelaku usaha kecil cara memasarkan produk secara daring. Dari tempat seperti inilah transformasi digital mendapat ruhnya.

 

Tugas pemerintah daerah adalah memastikan semangat itu tidak padam. Digitalisasi layanan publik memang sudah berjalan—ada e-Samsat, e-Puskesmas, dan aplikasi kependudukan.

 

Tapi tanpa kesiapan aparatur dan keberlanjutan anggaran, semua itu bisa berhenti di layar presentasi. Digitalisasi bukan soal aplikasi baru, melainkan perubahan cara kerja. Ia menuntut kemauan belajar dan beradaptasi dari birokrasi sendiri.

 

Saya mengamati, di Kepri yang paling berat bukan teknologi, tapi mentalitas. Masih ada yang melihat digitalisasi sebagai urusan teknis, bukan strategi pemerataan.

 

Padahal, di wilayah kepulauan, teknologi adalah jembatan paling efisien untuk memperpendek jarak dan membuka akses pendidikan. Ketika sinyal akhirnya menjangkau pulau, yang hadir bukan sekadar internet, tapi peluang dan masa depan.

 

Transformasi digital di daerah kepulauan sesungguhnya bukan masalah kecanggihan semata, akan tetapi soal keadilan.

 

Bagaimana memastikan tak ada anak Indonesia yang tertinggal hanya karena lahir di pulau kecil. Dengan cara apa agar setiap nelayan dan guru bisa berdiri sejajar dalam ruang digital yang sama.

 

Dari Tanjungpinang hingga Natuna, saya menyaksikan gelombang kecil perubahan itu bergerak. Dan seperti laut yang tak pernah berhenti mencari pantai, arus digitalisasi pun akan menemukan jalannya—asal kita terus menjaga semangat, kesetaraan, dan keberanian untuk belajar bersama.*

 

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *