Senin pagi, 10 November 2025, Jakarta masih padat seperti biasa. Di tengah lalu lintas yang semrawut dan macet, saya tiba di sebuah hotel tempat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI menggelar pelatihan bagi calon pengajar Diklat Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) Kualifikasi Utama Angkatan II. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, 10–12 November.
Sejujurnya, sebelum berangkat saya membayangkan suasananya akan dipenuhi wajah-wajah muda—para dosen muda, aktivis, atau pegawai pemerintahan berusia empat-lima puluhan. Tapi dugaan itu langsung sirna begitu perhelatan dimulai.
Yang hadir justru banyak yang sudah berumur, baik lelaki maupun perempuan. Ada yang rambutnya memutih, dan ada yang berjalan perlahan. Namun di balik usia mereka, semangat yang terpancar justru luar biasa segar. Mereka datang bukan untuk mengulang masa lalu, melainkan untuk terus belajar dan memberi makna baru bagi kehidupan berbangsa.
Jumlah peserta tercatat 70 orang. Sebagian besar berasal dari kalangan ASN, dosen, dan profesional swasta. Ketika saya mencoba menghitung, ternyata mayoritas bergelar doktor dan profesor. Hanya lima orang yang bergelar magister, dan saya termasuk di antaranya.
Tidak saja status pendidikan yang sudah guru besar, ternyata banyak diantara peserta itu orang hebat, yakni rektor perguruan tinggi (universitas maupun institut) negeri serta swasta.
Sekilas saya terasa seperti “murid kecil” di tengah para guru besar dan orang hebat. Tapi suasananya sama sekali tidak kaku—penuh kehangatan, canda, dan semangat belajar yang menular. Di sela-sela pelatihan, kawan saya justru profesor dan para rektor itu.
Pelatihan ini, sebagaimana dijelaskan panitia, bertujuan untuk “membumikan Pancasila di tanah air.” Frasa itu terdengar sederhana, tetapi maknanya dalam.
Membumikan berarti membawa nilai-nilai luhur itu turun dari ruang teori ke kehidupan nyata, agar tidak sekadar menjadi hafalan di dinding kelas atau kutipan dalam upacara.
Dalam kegiatan ini, peserta dibagi menjadi dua kategori: Maheswara, yang berasal dari ASN, TNI, dan Polri aktif, kebanyakan profesor; serta Penceramah, yang datang dari kalangan dosen, ormas, swasta, atau pensiunan.
Dua peran ini sama-sama penting—sebagai pengajar dan penyebar nilai-nilai Pancasila di berbagai ruang sosial.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala BPIP, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D via zoom. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa pengajaran Pancasila bukanlah sekadar tugas formal, melainkan misi kebangsaan.
“Diklat PIP merupakan proses pembelajaran dalam meningkatkan kecerdasan karakter bangsa yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Kalimat itu sederhana, tapi menyentuh. Bahwa Pancasila bukan hanya soal ideologi, melainkan juga karakter dan cara kita hidup bersama.
Yang menarik, BPIP menekankan bahwa pembinaan ini bukan doktrinasi, melainkan pengingat nilai-nilai dasar yang mungkin mulai pudar di tengah arus zaman.
Di sinilah letak keindahannya. Pancasila tidak dipaksa untuk dihafal, tetapi diajak untuk dihayati. Tidak diproklamasikan dengan kata-kata besar, melainkan diwujudkan dalam tindakan kecil yang bermakna.
Selama pelatihan, berbagai narasumber hadir dengan pendekatan yang segar dan membumi. Mereka tidak berbicara dari podium tinggi, melainkan berdialog langsung dengan peserta. Materinya terstruktur, mudah diikuti, dan kaya dengan contoh aktual.
Jamaknya dialog tingkat tinggi, narasumber yang bergelar doktor diajak tanya jawab oleh peserta — sudah profesor, rektor lagi—saya cuma termangu mendengarkan dan mengikuti tanya jawab itu. Pemateri dan penanya sama-sama hebat.
Pemberian materi kaku? Tidak, malah ada narasumber yang selama pencerahannya lebih banyak memberikan lelucon sehingga membuat ruangan besar nan sejuk itu gemuruh oleh gelak tawa peserta dan panitia.
Pengaruh era digital juga menjadi sorotan pemateri. Dimana nara sumber menunjukkan cara membumikan Pancasila saat era digital sedang mewabah, terutama dikalangan anak muda.
Pemaparan itu membuka wawasan baru tentang pentingnya mengaktualisasikan nilai Pancasila di ruang digital yang kini menjadi bagian hidup generasi masa kini.
Tak heran jika banyak peserta memuji sistem pembelajaran yang dirancang BPIP. Seorang doktor di sebelah saya bahkan berkomentar lirih, “Begini seharusnya mengajarkan Pancasila—tanpa menggurui, tapi menginspirasi.”
Hingga akhir acara, semangat para peserta tidak surut sedikit pun. Tak ada wajah lelah, tak ada yang mengantuk, meski jadwal pelatihan padat. Bahkan dalam satu sesi, seorang peserta perempuan yang sudah berumur berkata lantang,
“Saya siap menghibahkan diri demi tegaknya Pancasila di tanah air.” Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang. Ada rasa haru, ada kebanggaan, dan juga secercah kesadaran bahwa perjuangan ideologi tidak pernah selesai.
Di sela-sela kegiatan, saya kadang merenung. Betapa luasnya makna Pancasila ketika ia tidak dibatasi oleh ruang kelas atau teks konstitusi. Ia hidup dalam keseharian—dalam cara kita menghormati perbedaan, menolak korupsi, menegakkan keadilan, dan menebar kasih kepada sesama.
Pancasila, sejatinya, milik kita semua, bukan hanya milik BPIP. Lembaga ini hanyalah penggerak, pengingat, sekaligus penjaga bara agar api ideologi itu tidak padam.
Tapi tugas membumikan nilai-nilainya ada di tangan kita semua, di rumah, di kantor, di kampus, di jalan, di dunia nyata tempat manusia berinteraksi.
Saya pulang dari pelatihan itu dengan hati hangat. Tiga hari terasa singkat, tapi penuh makna. Saya menyadari, membumikan Pancasila bukan pekerjaan besar yang menuntut jabatan atau gelar tinggi.
Ia bisa dimulai dari hal kecil—dari tutur yang santun, dari menghargai perbedaan, dari bekerja dengan jujur.
Mungkin di situlah letak kekuatan pelatihan ini: ia tidak berhenti di ruang kelas, tapi menggerakkan hati. Karena Pancasila, pada akhirnya, bukan hanya dasar negara, melainkan cermin kemanusiaan kita bersama.*
Ridarman Bay
Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

