Berani, Bangun Tanjungpinang?

Oleh Ridarman Bay, SE, MM

Tanjungpinang adalah ibu kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Status itu disandang sejak provinsi ini dibentuk pada 2002. Dua puluh tiga tahun kemudian, kota berpenduduk sekitar 227 ribu jiwa ini justru memperlihatkan wajah yang stagnan.

Angka berbicara lebih jelas. Sejak 1993 hingga kini, jumlah kecamatan di Tanjungpinang tetap 4 (empat). Dalam tiga dekade, tidak ada pemekaran wilayah yang berarti.

Bandingkan dengan Batam—kota otonom yang justru tumbuh menjadi simpul ekonomi regional meski bukan ibu kota provinsi. Kontras itu menimbulkan pertanyaan: mengapa Tanjungpinang seperti jalan di tempat?Kantor gubernur

Stagnasi paling terasa di sektor ketenagakerjaan. Kota ini nyaris tanpa basis industri. Sarjana lokal kesulitan mencari pekerjaan sesuai keahlian. Fenomena lulusan perguruan tinggi yang bekerja di kedai kopi bukan lagi anekdot, melainkan kenyataan sehari-hari. Mereka bukan keliru pilih jurusan; yang salah adalah ekosistem ekonomi yang tak menyediakan ruang bagi mereka.

Padahal, Tanjungpinang memiliki posisi strategis: berada di jalur pelayaran internasional dan masuk kawasan perdagangan bebas (FTZ). Secara teori, keberadaan FTZ seharusnya mampu menarik investasi sehingga membuka lapangan kerja.

Namun dalam praktiknya, investor urung datang. Pemilik modal yang berkunjung pun cuma sekedar teken MoU. Infrastruktur belum memadai, birokrasi kerap berbelit, dan iklim usaha dianggap kurang bersahabat. Alhasil, potensi besar itu berhenti pada tataran wacana.

Di tengah kelesuan sektor formal, kedai kopi menjamur di setiap sudut kota. Dari yang besar hingga sederhana, jumlahnya terus bertambah. Namun ini bukan tanda kemakmuran. Yang tutup satu, berdiri satu lagi.

Modal berpindah dari satu kedai ke kedai lain tanpa menumbuhkan nilai ekonomi baru. Ekonomi Tanjungpinang seperti berputar di tempat, bergantung pada konsumsi warga dan belanja pegawai negeri.

Kehidupan kota ini memang bertumpu pada keberadaan aparatur sipil negara. Ribuan pegawai dari berbagai instansi—pemerintah provinsi, pemerintah kota, lembaga vertikal, TNI/Polri, hingga perguruan tinggi—menjadi tulang punggung perputaran uang di kota. UMKM, warung makan, sampai toko kelontong hidup dari rutinitas belanja para pegawai. Tak heran, ketika tunjangan kinerja daerah (TKD) dipotong, denyut ekonomi langsung melemah. Kota seakan ikut berhemat.

Dari sisi pendidikan tinggi, pilihan juga terbatas. Hanya ada dua perguruan tinggi negeri: Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dan Politeknik Kesehatan. Selebihnya sekolah tinggi dan institut dengan kapasitas terbatas.

Minimnya variasi dan fasilitas pendidikan berdampak pada daya saing sumber daya manusia. Riset dan inovasi yang seharusnya lahir dari kampus pun tak banyak terdengar.

Padahal, ramai kalangan telah lama berangan-angan menjadikan “Negeri Pantun” ini sebagai pusat pendidikan dan kesehatan di kawasan Asia Tenggara. Ide itu sempat muncul dalam berbagai seminar dan diskusi, namun tak pernah benar-benar bergerak dari meja wacana. Rencana tetaplah rencana.

Persoalannya tidak tunggal. Perencanaan pembangunan kurang visioner, pengelolaan anggaran belum optimal, dan kolaborasi antara pemerintah daerah dan sektor swasta nyaris kagak tampak.

Tanjungpinang seperti kehilangan arah—bukan karena tiada punya potensi, melainkan karena peluangnya tidak termanfaatkan dengan baik.

Padahal, sebagai ibu kota provinsi, Tanjungpinang semestinya menjadi pusat gravitasi pertumbuhan. Kota ini seharusnya memimpin transformasi ekonomi Kepri, bukan sekadar menjadi tempat kantor pemerintahan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: Batam tumbuh menjadi lokomotif ekonomi, sementara Tanjungpinang tertinggal di belakangnya.

Kita bisa menyebut banyak sebab: keterbatasan fiskal, lemahnya infrastruktur dasar, atau kurangnya keberanian mengambil kebijakan yang membuka ruang partisipasi publik dan dunia usaha.

Tapi pada akhirnya, semua berpulang pada visi dan kemauan politik untuk menata arah pembangunan yang lebih jelas dan inklusif.

 

Membangkitkan Tanjungpinang bukan perkara membangun gedung baru atau menambah taman kota. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memanfaatkan potensi yang ada: sektor jasa, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kreatif.
Pemerintah daerah perlu menata ulang strategi pembangunan, mempermudah perizinan, dan menjalin kolaborasi nyata dengan universitas serta pelaku usaha lokal.

Tanjungpinang punya sejarah panjang dan posisi yang istimewa di peta Kepri. Ia hanya butuh energi baru untuk bangkit dari tidur panjangnya.

Entah mengapa, pembangunan kota ini seperti terlalu lama tertidur. Sementara kantor-kantor pemerintah berdiri megah dan kedai kopi terus berganti wajah, denyut ekonominya tetap sama: datar dan hati-hati.

Apakah kita perlu bertanya pada rumput yang bergoyang? Atau sebenarnya, kita hanya perlu keberanian untuk membangunkan kota yang terlalu lama terlelap.*

Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *