AI, Tulisan, dan Rasa Manusia

Suatu ketika, seorang teman membaca tulisan opini saya. Tak lama kemudian ia bertanya, “Bang, artikel ini dapat bantuan dari AI, tak?”

 

Saya terdiam sebentar. Pertanyaan itu sederhana, tapi menohok juga. Saya kan wartawan, sudah terbiasa menulis sejak lama — berita, feature, opini, apa saja.

 

Saya jawab pelan, “Tulisan itu abang tulis berkali-kali. Dibaca istri, diedit lagi, baru dikirim.”

 

Begitulah kira-kira protap saya setiap menulis. Bukan sekali jadi. Ada proses berpikir, membaca ulang, dan merasa apakah tulisan itu sudah layak dan enak dibaca.

 

Lalu saya tambahkan, “Abang sudah jadi wartawan sejak 1994. Dulu, waktu pertama kali pegang mesin ketik, AI belum lahir.” Saya tidak tahu apakah ia tertawa atau tidak.

 

Mungkin pertanyaannya bukan untuk menuduh, hanya ingin memastikan saja. Tapi entah kenapa, kalimat itu terus berputar di kepala saya: apakah benar tulisan di era sekarang harus dan mesti berkaitan dengan jejak AI?

 

Saya akhirnya mengarang soal ini. Sebab, ini menjadi pikiran yang mesti saya tulis mau tidak mau, supaya batin ini plong. Menurut saya, di zaman digital seperti sekarang, AI sudah meresap ke hampir semua sisi kehidupan.

 

Saya coba mencari referensi. Menurut artikel Binus University berjudul AI: Peran, Macam Teknologi, dan Penggunaannya di Masa Kini, teknologi kecerdasan buatan ini akan mengubah masa depan manusia secara signifikan. Karena itu, katanya, penting agar AI digunakan oleh orang yang tepat, untuk tujuan yang benar.

 

Dalam dunia jurnalistik pun, AI mulai masuk ke dapur redaksi.

 

Penelitian dari Lia Rahmaida Ritonga dan Leonard Dharmawan (IPB University, 2025) menyebutkan bahwa AI mampu mempercepat proses produksi berita — terutama untuk konten berbasis data dan laporan rutin. Tapi, mereka juga menegaskan: kualitas dan kredibilitas berita tetap membutuhkan sentuhan manusia. Verifikasi, analisis mendalam, dan konteks sosial tak bisa diserahkan pada mesin.

 

Kalau kita tengok ke luar negeri, China sudah melangkah jauh. Tahun 2018, kantor berita Xinhua memperkenalkan penyiar berita berbasis AI — berjas rapi, bicara dengan nada datar tapi lancar. India menyusul lewat presenter AI bernama Sana, yang menyampaikan buletin setiap hari di Aaj Tak TV. Kuwait pun tak mau ketinggalan. Dunia media memang sedang berubah.

 

Tapi di tengah perubahan itu, saya percaya satu hal: AI hanyalah alat. Mesin bisa menulis cepat, tapi belum tentu bisa merasakan.

 

Tulisan, bagi saya, bukan sekadar rangkaian kata. Ia lahir dari pengalaman, dari teh tarik yang mendingin di meja, dari kalimat istri yang bilang, “Bagus, tapi masih kaku,” dari malam-malam panjang memikirkan kalimat pembuka yang pas.

 

Jadi, mungkin benar, AI akan semakin canggih. Tapi biarlah manusia tetap jadi pengendali. Karena mesin boleh punya kecerdasan, tapi hanya manusia yang punya nurani. Dan selama nurani masih hidup, tulisan akan tetap punya rasa.

 

Lagipula, kan tidak ada masalah juga jikalau jurnalistik memanfaatkan AI untuk kepentingan bersama yang berkelanjutan. Iya tak..*

 

Oleh Ridarman Bay

Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *