Tanjungpinang (infoluarbiasa.com) – Kabar tentang banjir besar di Sumatera beberapa hari terakhir ikut sampai ke Tanjungpinang. Di berbagai daerah, warga masih berjuang menyelamatkan diri, sementara pemerintah daerah sibuk membuka akses yang tertutup lumpur dan longsoran tanah.
Di tengah situasi itu, Ketua PW Majelis Adat-Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Provinsi Kepri, Prof. Dr. Dato’ Perdana Abdul Malik, M.Pd, menyampaikan keprihatinannya yang dalam. Menurutnya, bencana ini tidak bisa dilihat semata sebagai hujan deras yang kebetulan turun bersamaan.
Ada persoalan lama yang tak kunjung selesai, tambah dia, rusaknya hutan di Sumatera. “Hutan kita semakin parah kondisinya. Ketika hujan turun deras, ia tak mampu menahan aliran air,” ujarnya saat ditemui infoluarbiasa.com, Selasa (2/12), di Tanjungpinang.
Ia menyebut kerusakan hutan itu terjadi bukan sekali dua kali. Setiap tahun, penebangan besar-besaran terus berulang. “Inilah akar persoalan banjir. Kita sudah lama membiarkan hutan ditebang tanpa kendali,” katanya.
Malik berharap pemerintah mengambil langkah lebih tegas. Tidak cukup hanya bertindak setelah banjir terjadi; yang penting adalah mencegah kerusakan sebelum semuanya terlambat.
Raut wajah Malik tampak muram ketika ia menyebut jumlah korban. Ratusan jiwa melayang dan harta benda masyarakat hanyut begitu saja.
“Kita semua sangat sedih,” ucapnya pelan. Ia menambahkan, ribuan warga kini harus mengungsi dan tidak bisa melakukan apa pun untuk kebutuhan dasar mereka.
Menurutnya, laporan yang masuk dari Tim MABMI Medan dan Aceh membuat situasi lebih jelas. Di Takengon, misalnya, warga benar-benar terisolir. Listrik mati, air tidak mengalir, jaringan internet terputus.
“Beruntung Polres sana pakai internet Starlink, jadi warga bisa mengabari keluarga. Itu pun baru beberapa hari setelah kejadian,” kata guru besar Universitas Maritim Raja Ali Haji itu.
Ditambahkan, kondisi akses yang tertutup membuat beberapa warga harus berjalan kaki jauh—benar-benar jauh—demi mendapatkan bantuan.
Malik menyebut, untuk mengambil sembako di Lhokseumawe, ada warga yang harus menempuh perjalanan sekitar 100 kilometer. “Karena kendaraan tak bisa lewat, mau tak mau harus jalan kaki,” katanya.
Di tengah semua cerita berat itu, Malik menyampaikan terima kasih kepada masyarakat di berbagai daerah yang sudah mengirimkan bantuan.
Menurutnya, solidaritas seperti itu menjadi kekuatan ketika bencana datang. “Semoga mereka, baik yang membantu maupun yang dibantu, senantiasa mendapat pelindungan dan rahmat Allah,” ujarnya.
Meski begitu, ia kembali mengingatkan bahwa bantuan hanyalah penanganan sementara. Yang lebih penting adalah menutup pintu bencana dengan menghentikan perusakan hutan dan memperbaiki lingkungan yang sudah terlanjur rusak.
Tanpa itu, kata budayawan negeri serumpun ini, kejadian serupa bisa saja kembali terjadi—bukan hanya di Sumatera, tetapi juga di daerah lain di tanah air.(red)

