Pancasila Melawan Radikalisme di Era Digital

Belakangan soal radikalisme dan terorisme mulai menghangat dibicarakan. Menyusul adanya ledakan di SMAN 72 Jakarta, baru-baru ini. Kendati kasus peledakan di SMAN 72 itu bukan murni radikalisme, tapi upaya yang dilakukan pelajar untuk meledakkan sekolahnya membuat orang miris dan tercengang.

 

Apalagi menurut data dari Anti Teror Polri dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), tahun 2024-2025, menunjukkan bahwa generasi muda (Gen Z & Alpha), perempuan, dan anak-anak bukan hanya “terpapar” secara pasif, melainkan aktif dijadikan target perekrutan oleh jaringan radikal dan ekstremis.

 

Data KPAI mencatat 67 laporan terkait paparan konten radikal pada anak sepanjang 2024, meningkat hampir tiga kali lipat dari 23 laporan pada 2022.

 

Malah Densus 88 belakangan mengungkap jaringan yang merekrut anak-anak (usia 10-18 tahun) melalui game online dan media sosial (instagram). Sebanyak 110 anak teridentifikasi telah didekati atau direkrut. Para perekrut memanfaatkan fitur chat di dalam game untuk membangun kedekatan emosional sebelum menanamkan paham radikal.

 

Yang lebih mengkhawatirkan, proses persiapan ini rata-rata hanya berlangsung 3-6 minggu sebelum anak-anak mulai menerima ideologi ekstrem.

 

Radikalisme memang sudah berubah wajah. Kalau dulu yang disasar adalah pria dewasa soal sentimen sempit keagamaan melalui pengajian, sekarang yang diincar adalah anak-anak, perempuan dan remaja generasi Z dan Alpha melalui ruang digital yang mereka akses setiap hari.

 

Generasi muda ini disasar lantaran anak muda (Gen Z/Alpha) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, dan sangat “melek” teknologi namun diduga belum memiliki saringan informasi yang kuat.

 

Namun, faktor-faktor lain seperti ketidakpastian ekonomi, kesenjangan sosial dan kurangnya rasa memiliki juga dapat berkontribusi pada kerentanan ini sehingga membuat beberapa individu mencari identitas dan afiliasi di luar norma yang ada.

 

Mereka menghabiskan rata-rata 7-8 jam per hari di dunia digital, namun literasi digital dan kemampuan berpikir kritis mereka belum sebanding dengan intensitas paparan yang mereka terima.

 

Apa itu radikalisme? Ia adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sistem sosial dan politik secara drastis atau ekstrem. Sering kali menolak pluralisme dan proses demokrasi.

 

Sementara terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menciptakan suasana teror atau ketakutan secara luas guna mencapai tujuan politik, ideologis, atau keagamaan.

 

Keduanya saling terkait. Radikalisme menjadi awal –proses penanaman ideologi– dan terorisme merupakan akhir dengan melakukan aksi fisik yang merusak.

 

Jika disimak, kita punya falsafah negara Pancasila yang menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

 

Pancasila dapat menjadi salah satu alternatif efektif untuk menangkal radikalisme dan terorisme karena ideologi ini mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan paham radikal, seperti persatuan, toleransi, keadilan, dan kemanusiaan.

 

Namun efektifitasnya bergantung pada seberapa serius nilai-nilai ini dipraktikkan, bukan sekedar dihapalkan atau dipajang belaka.

 

Penguatan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan, penegakan hukum yang berbasis Pancasila, dan partisipasi aktif masyarakat merupakan kunci keberhasilan.

 

Termasuk upaya mengaktualisasikan nilai Pancasila di ruang digital dengan cara mempromosikan etika digital yang baik, menghargai privasi, tidak menyebarkan hoaks, dan berpikir sebelum mengunggah.

 

Selain itu, menghadirkan konten positif yang memuat nilai-nilai Pancasila, dan menggunakan teknologi untuk memfasilitasi dialog antarbudaya serta keadilan sosial. 

 

Tentu saja Pancasila yang kita maksudkan adalah Pancasila yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan Pancasila yang ada dalam hapalan dan digantung di ruangan atau dinding sekolah dan kantor.

 

Peran Pancasila dalam menangkal radikalisme, diantaranya; pertama, landasan ideologis dan filosofis. Pancasila menjadi benteng ideologis yang menolak paham radikal dan ekstrem.

 

Kedua, kontradiksi dengan paham radikal. Gerakan radikalisme dan teroris secara langsung bertentangan dengan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mengakui keberagaman agama.

 

Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, berarti menolak segala bentuk diskriminasi, mendukung keadilan sosial, dan melarang kekerasan terhadap sesama. Serta sila ketiga, “Persatuan Indonesia” yang menghargai perbedaan suku, agama dan budaya.

 

Ketiga, mendorong toleransi dan persatuan. Pancasila mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan agama, budaya dan suku, serta menanamkan nila-nilai persatuan, gotong royong dan musyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah.

 

Namun nilai-nilai ini baru akan bermakna jika diterjemahkan dalam tindakan konkret. Orang tua perlu aktif memantau aktivitas digital anak dan menanyakan siapa saja teman online mereka.

 

Sekolah harus memasukan literasi digital dalam kurikulum, bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi tapi juga bagaimana memverifikasi informasi dan mengenali propaganda.

 

Semua itu bisa tercapai apabila sekolah dan pihak terkait bahu membahu memberi keteladanan ber-Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam ruang digital yang kini menjadi medan baru ancaman radikalisme.

 

Pancasila hanya hidup jika ia ditemukan dalam keseharian kita, bukan dalam poster.*

 

 

Ridarman Bay

Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *