Suatu hari saya berjumpa dengan seorang teman lama, usianya sekitar 68 tahun. Wajahnya masih bersemangat meski langkahnya sudah sedikit melambat. “Masih sering menulis, Bang?” tanya saya. Ia tersenyum kecil. “Iya, supaya saya jangan jadi pikun aja,” jawabnya ringan.
Saya sempat terdiam. Rupanya ia menulis bukan semata untuk dikenal, tapi untuk menjaga daya ingatnya tetap tajam.
Saya pun mencoba menelusuri apa yang ia katakan. Menurut sejumlah sumber medis, pikun—atau dalam istilah kedokteran disebut demensia—adalah sindrom yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif, seperti daya ingat, berpikir, dan konsentrasi.
Pikun memang sering dikaitkan dengan usia lanjut, namun penyebabnya bisa beragam: penyakit Alzheimer, stroke, atau cedera kepala. Kondisi ini membuat seseorang kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari.
Pantas saja teman saya itu mencoba melawannya dengan menulis. Menulis, apalagi menulis opini, menuntut ketelitian berpikir, logika yang runut, dan konsentrasi tinggi. Ia melatih otak untuk tetap bekerja, sama seperti otot yang butuh latihan agar tidak melemah.
Dalam banyak penelitian, aktivitas menulis—terutama menulis tangan—disebut mampu melatih fungsi eksekutif otak, memperkuat hubungan antarsel saraf, serta meningkatkan daya ingat jangka panjang.
Otak yang aktif berpikir dan menulis cenderung lebih terlatih dalam mengelola informasi dan emosi. Tak heran, menulis sering disebut sebagai salah satu bentuk olahraga mental yang menyehatkan.
Menulis juga berfungsi sebagai sarana menjaga kesehatan mental. Ia membantu seseorang menata pikiran, meredakan stres, bahkan memahami dirinya sendiri.
Dengan menulis, seseorang belajar menyusun ulang apa yang berserak di kepala menjadi kalimat yang utuh. Proses itulah yang membuat pikiran menjadi lebih jernih dan terarah.
Menariknya, dalam ajaran Islam, aktivitas menulis mendapat tempat yang mulia. Allah bersumpah atas pena dan tulisan dalam Al-Qur’an: “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS Al-Qalam: 1).
Ayat ini bukan hanya menegaskan pentingnya ilmu, tapi juga menunjukkan betapa luhur kedudukan menulis sebagai bentuk amal pengetahuan. Pena menjadi simbol peradaban; tulisan menjadi jejak perenungan manusia.
Namun, saya juga sadar, bahwa tidak semua orang mudah menulis. Bagi sebagian orang, mengarang terasa berat, sebagaimana anak-anak yang disuruh berpidato di depan umum.
Menulis butuh kebiasaan. Kalau tidak dilatih, ia menjadi beban yang berat. Tapi begitu terbiasa, merekam justru bisa menjadi kebutuhan—seperti teman saya tadi, yang mengubah untuk menjaga ingatannya tetap hidup.
Dalam dunia kepenulisan, memang ada banyak mazhab. Ada penulis yang berpikir seperti akademisi: sistematis, berlandas data, dan penuh pokok pikiran.
Ada pula pengarang yang lihai bermain kata, menjalin kalimat dengan indah hingga pembaca terbawa oleh suasana. Kedua jenis juru tulis itu sama-sama berharga, karena keduanya lahir dari kebutuhan manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Para pujangga dan sastrawan telah membuktikannya. Kata-kata mereka melampaui waktu, menjaga ingatan kolektif bangsa.
Puisi Chairil Anwar “Antara Karawang dan Bekasi” misalnya, bukan hanya rangkaian kata, tapi monumen kecil dari pergulatan sejarah dan kemanusiaan.
Begitu pula karya Buya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang terus dibaca lintas generasi, karena menyimpan makna yang tak habis ditafsirkan.
Mungkin, di situlah letak keistimewaan mencatat. Ia bukan semata kegiatan intelektual, tetapi juga cara manusia melawan lupa. Dengan menyalin, kita menjaga agar pengalaman dan pemikiran tidak lenyap begitu saja.
Menulis membuat kita tetap hadir — bahkan ketika waktu terus berjalan dan ingatan perlahan memudar.*
Ridarman Bay
Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

