Menulis Ulang Sejarah Kepri

Pada akhir Oktober yang cerah, saya diajak kawan, Ir. Sudirman Almoen — Sekretaris Umum Yayasan Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Yayasan BP3KR) — untuk sarapan sambil ngupi.

 

Saat saya datang, beberapa tokoh tempatan sudah lebih dulu berkumpul. Sebagian besar di antara mereka kini sudah pensiun, namun semangatnya masih segar seperti dulu.

 

Setelah saling sapa, Sudirman Almoen menatap saya sambil berkata, “Awak masuk tim penulisan buku sejarah pembentukan Provinsi Kepri, tu.”

 

Ucapan itu sontak memantik reaksi dari hadirin. Ada yang menyambut dengan antusias, ada pula yang berkomentar bahwa penulisan buku sejarah pembentukan provinsi sangat penting — terutama bagi generasi muda Kepri — agar mereka tahu bagaimana proses panjang perjuangan masyarakat di Kepulauan Riau hingga akhirnya bisa lepas dari provinsi induk, Provinsi Riau, dan berdiri sendiri.

 

Waktu konflik itu, semua komponen masyarakat bahu membahu berjuang. Mereka berkorban tanpa pamrih, dengan tenaga, waktu, dan dana pribadi. Yang terlibat bukan hanya warga Kepri di kampung halaman, tetapi juga masyarakat perantauan yang ikut mendukung.

 

 

Gagasan Lama yang Kembali Bergelora

 

Ide untuk menulis buku sejarah pembentukan Provinsi Kepri sejatinya bukan hal baru. Sejak masa almarhum Gubernur Kepri M. Sani, Sudirman Almoen sudah menggaungkan pentingnya penulisan buku sejarah tersebut.

 

Kini, keinginan itu semakin kuat, dan akhirnya mencapai puncaknya pada pertemuan silaturahmi masyarakat dengan pengurus Yayasan BP3KR awal Oktober 2025 di Gedung Juang BP3KR, di tepi laut Kota Tanjungpinang — laut yang selalu setia menyapa.

 

Pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah tokoh penting Kepri: budayawan Riau dan Kepri, Datok Rida K. Liamsi; budayawan negeri serumpun (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei), Datok Prof. Dr. Abdul Malik, M.Pd.

 

Kemudian, Ketua Yayasan BP3KR, Huzrin Hood, SH, MH; anggota DPRD Kepri Bobby Jayanto dan Rudi Chua; Sudirman Almoen, Azirwan; serta para pejuang pembentukan Provinsi Kepri baik dari Kota Tanjungpinang maupun dari Kota Batam.

 

Dalam pertemuan itu, Huzrin Hood yang diamini oleh Sudirman Almoen menyampaikan tekad Yayasan BP3KR untuk menulis buku sejarah pembentukan Provinsi Kepri, dengan menunjuk Abdul Malik sebagai ketua tim.

 

“Nanti Ketua Tim yang mencari orang-orang yang terlibat dalam penulisan buku pembentukan Provinsi Kepri. Kita percayakan kepada Pak Malik,” kata Huzrin.

 

Hadirin menyambut antusias rencana tersebut. Ada pula yang mengusulkan agar tim penulis turut menggali informasi dari tokoh-tokoh Kepri yang berdomisili di luar daerah, seperti Jakarta, Bandung, Padang, dan Pekanbaru.

 

Rida K. Liamsi pun menimpali dengan lugas, “Sejarah itu harus ditulis, walaupun salah.”

Pernyataan itu menegaskan bahwa sejarah bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami dan belajar dari masa lalu.

 

 

Menulis untuk Mengingat

 

Sejarawan besar Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo pernah mengatakan bahwa sejarah adalah gambaran masa lalu manusia sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap, mencakup urutan fakta yang ditafsirkan dan dijelaskan agar memberikan pemahaman tentang apa yang telah terjadi.

 

Ia membedakan dua dimensi sejarah: objektif — peristiwa yang benar-benar terjadi dan tak dapat diulang; dan subjektif — kisah yang disusun penulis berdasarkan tafsir atas rangkaian fakta.

 

Sementara Prof. Dr. Anhar Gonggong, MA, mengingatkan bahwa sejarah erat kaitannya dengan masa depan. Menurutnya, generasi muda tidak boleh mengabaikan sejarah perjuangan tokoh-tokoh yang berusaha melampaui dirinya dan keluar dari zona nyaman.

 

Dari Royal Palace ke Undang-undang

 

Perjuangan pembentukan Provinsi Kepri dimulai sejak 1999, ditandai dengan Musyawarah Rakyat Kepulauan Riau yang digelar pada 15 Mei 1999 di Hotel Royal Palace (kini Hotel Comfort), Tanjungpinang.

 

Lebih dari seribu orang hadir — perwakilan masyarakat Kepri dari berbagai daerah dan perantauan. Deklarasinya jelas: pemekaran wilayah administratif dan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

 

Perjalanan itu tidak mudah. Beberapa pihak menentang, termasuk Gubernur Riau kala itu, Saleh Djasit, yang menolak pembentukan provinsi baru. Namun perjuangan tidak surut.

 

Semangat masyarakat terus bergelora hingga akhirnya pemerintah pusat mengesahkan Provinsi Kepulauan Riau pada 24 September 2002, melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002.

 

Sejak saat itu, Kepri resmi menjadi provinsi ke-32 di Indonesia — hasil pemekaran dari Provinsi Riau.

 

Mengulang Api yang Pernah Menyala

 

Poin yang ingin saya tekankan di sini adalah kuatnya tekad para tokoh perjuangan pembentukan Provinsi Kepri untuk menghidupkan kembali semangat heroik masa lalu.

 

Mereka ingin memastikan perjuangan itu tidak hanya tinggal cerita, melainkan menjadi catatan sejarah yang abadi — agar generasi berikutnya tahu dari mana mereka berasal.

 

Sebab diyakini, dengan berdirinya provinsi sendiri, kemajuan daerah akan semakin nyata, sebagaimana cita-cita awal perjuangan: mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di “Bunda Tanah Melayu”.

 

Namun, dalam keheningan obrolan siang itu, terdengar juga celetukan kecil dari salah satu tokoh di sebelah saya, “Yang menikmati, die-die juga,” katanya sambil tersenyum samar — seolah menyiratkan bahwa tidak semua pejuang menikmati hasil perjuangannya sendiri.

 

Dan di sanalah saya teringat petuah Bung Karno yang abadi: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” (JASMERAH).*

 

Oleh Ridarman Bay

Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Provinsi Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *