Pelayanan Prima, Janji Lama yang Tak Juga Nyata

Suatu ketika, saya menanyakan biaya penerbitan buku ke sebuah percetakan. Petugasnya menjawab, “Kirimkan naskahnya dulu, nanti saya hitung.” Saya bertanya lagi, apakah tidak ada paket harga?

 

Jawabannya tetap sama. Pengalaman sepele itu mengingatkan saya, bahwa dalam banyak hal, pelayanan sering kali hanya dipahami sebagai urusan teknis—bukan soal sikap.

 

Padahal, di setiap transaksi, pelanggan selalu berharap memperoleh dua hal: produk yang layak dan perlakuan yang memuaskan. Murah tidak selalu berarti menarik, dan pelayanan ramah tidak selalu cukup. Orang ingin merasa dihargai, dilayani dengan tulus, dan diberi kepastian.

 

Secara teori, kualitas pelayanan diukur dari kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Jika pelayanan sesuai dengan harapan, pelanggan merasa puas. Bila melampauinya, muncul loyalitas. Tapi bila jauh di bawah ekspektasi, yang lahir adalah kekecewaan.

 

Teori itu sudah sering diulang di ruang kuliah dan pelatihan manajemen. Namun di lapangan, praktiknya jauh berbeda. Tidak sedikit penyedia jasa yang bersikap asal-asalan.

 

Bahkan di era digital saat ini, ketika teknologi sudah memudahkan segalanya, ironi baru justru muncul: pelayanan menjadi semakin impersonal. Chatbot menjawab dengan cepat, tapi tanpa empati. Respon otomatis menggantikan sentuhan manusia.

 

Konsumen kini berhadapan dengan dua wajah pelayanan: yang serba cepat tapi dingin, atau yang hangat tapi lamban. Di titik inilah kualitas layanan diuji—bukan hanya dari kecepatan sistem, tapi dari kehadiran rasa.

 

Masalah klasiknya tetap sama: sikap karyawan yang bekerja hanya demi upah, bukan karena etos melayani. “Laku tak laku, gaji tetap jalan.”

 

Padahal, wajah perusahaan bukan pada logonya, melainkan pada orang-orang yang berdiri di garis depan: petugas, kasir, operator, resepsionis, security. Mereka adalah cermin nilai dan budaya kerja sebuah institusi.

 

Pelayanan sejatinya bukan sekadar instrumen bisnis, tetapi bagian dari karakter sosial. Perusahaan yang mampu menjaga mutu layanan akan menuai kepercayaan jangka panjang. Sebaliknya, citra buruk akibat layanan yang abai bisa menutup pintu rezeki seketika.

 

Kini, di tengah gempuran transformasi digital, kualitas pelayanan semakin menentukan reputasi. Dunia usaha maupun lembaga publik mesti paham bahwa teknologi hanya alat; yang membuatnya bernilai adalah manusia yang mengoperasikannya. Kecepatan tanpa empati hanya menghasilkan efisiensi semu.

 

Maka itu, pelayanan berkualitas bukanlah slogan, melainkan budaya. Ia tumbuh dari kepedulian, dari kesadaran bahwa setiap pelanggan adalah manusia yang ingin dihormati.

 

Sebab pada akhirnya, pelayanan yang baik tidak pernah usang. Entah di meja kasir, di ruang digital, atau di ruang publik, prinsipnya tetap sama: melayani dengan hati, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Dari situlah kepercayaan lahir, dan dari kepercayaan, keberlanjutan tumbuh.*

 

 

Oleh Ridarman Bay, SE, MM

Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP) Provinsi Kepri.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *