Tanjungpinang (infoluarbiasa.com) – Fenomena “demam” media sosial dalam pergaulan, hingga minimnya sopan santun terhadap guru menjadi keprihatinan bersama yang dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) Yayasan Polau Tojoh Indonesia, Senin malam (20/10) di Kedai Kopi Toyyip Batu 8 Atas, Tanjungpinang.
“Saat ini siswa lebih sering berkomunikasi kasar di media sosial dibanding tatap muka. Ini alarm bahaya bagi pembentukan karakter,” ungkap Dr. Maryamah, M.Pd.I, salah satu pemantik diskusi yang merupakan putra daerah dari Natuna.
Kegiatan yang digelar lembaga asal Palmatak, Kabupaten Kepulauan Anambas ini menghadirkan lima narasumber, dan puluhan peserta dari kalangan pendidik, mahasiswa, hingga aktivis. Diskusi berlangsung secara hybrid dengan narasumber dari Anambas bergabung via Zoom.
Lima nara sumber, yakni; Dr. Maryamah, M.Pd.I, Dr. M. Yusuf, HM, M.Ed, dan Marsudi, S.Sos, M.Si. Dan dua dari Anambas, Sumiati, S.Ag, M.Pd, dan Safaruddin, M.Pd.
*Kembali ke Akar: Konsep Pantang Larang Melayu*
Yusuf, Ketua Bawaslu Kota Tanjungpinang yang juga berasal dari Pulau Tujuh, Natuna, menawarkan solusi dengan menghidupkan kembali tradisi “pantang larang” dalam keluarga Melayu.
“Dulu anak-anak diajarkan: pantang berbicara keras pada orang tua, pantang memotong pembicaraan orang lebih tua, pantang memanggil nama tanpa sebutan hormat. Tradisi turun-temurun ini terbukti efektif membentuk generasi beradab,” jelasnya.
Yusuf mengusulkan penguatan pendidikan karakter berbasis filosofi Melayu “Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. “Ini bukan sekadar teori, tapi praktik keseharian yang harus dicontohkan,” tegasnya.
*Media Sosial: Pedang Bermata Dua*
Maryamah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap konten negatif yang mudah diakses generasi muda.
“Saya menemukan video murid merokok di sekolah yang malah di-viral-kan dengan bangga. Ini menunjukkan krisis pemahaman tentang adab,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya literasi digital dan pendampingan orang tua. “Bukan melarang total, tapi membimbing anak memilah konten. Yang baik ditiru, yang buruk dijauhi,” tambahnya.
*Benteng Moral Keagamaan*
Marsudi, Sekretaris Dewan Dakwah Indonesia (DDI) Provinsi Kepri, menyoroti dari sudut pandang psiko-sosial dan religius.
“Budaya digital membentuk identitas moral remaja. Tanpa filter nilai agama yang kuat, mereka mudah terpengaruh hal-hal negatif,” katanya.
*Suara dari Lapangan*
Nurjanah, ex mahasiswi asal Natuna yang hadir dalam diskusi, mengakui tantangan menjaga adab di era digital. “Teman-teman sering anggap sopan santun itu kuno. Padahal itu identitas kita sebagai orang Melayu,” ungkapnya.
*Rekomendasi Aksi*
FGD yang dipandu Ketua Yayasan Polau Tojoh Indonesia, Abu Hanifah, S.Ag, MM ini menghasilkan beberapa rekomendasi, diantaranya, perlu menghidupkan kembali tradisi pantang larang dalam keluarga.
Kemudian, mengintegrasikan nilai budaya Melayu dalam kurikulum sekolah, kampanye adab bersosial media di kalangan pelajar, dan adanya kerjasama sekolah, keluarga, dan komunitas dalam pembentukan karakter.
Abu Hanifah gembira kegiatan yang digelar pihaknya mendapat tanggapan positif dari peserta. “Ini bukan sekadar diskusi. Kami akan tindak lanjuti dengan program konkret bersama sekolah-sekolah dan komunitas di Kepri,” tegas Abu Hanifah.
Ia berharap diskusi serupa bisa rutin diadakan dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.(red)*

